Senin, 04 Februari 2013

POLITIK CITRA PARTAI DEMOKRAT



A.     LATAR BELAKANG
Korupsi merupakan problematika yang ada pada setiap Negara, seperti diungkap oleh Stiglitz (2006: 55) bahwa tidak ada negara yang kebal terhadap korupsi. Secara umum, korupsi biasanya digambarkan sebagai perilaku yang melibatkan penyalahgunaan jabatan publik, atau sumber-sumber kekuasaan untuk kepentingan pribadi (Huther & Syah 2000: 1).
Dimasa reformasi yang sudah berjalan lebih dari satu dasawarsa, pengungkapan kasus-kasus korupsi yang terjadi ditanah air terlihat mengalami kemajuan yang sangat pesat. Banyak para mantan pejabat yang harus mendekam dipenjara, baik setelah masa jabatannya, atau malah pada saat masih menjabat sekalipun. Pemberantasan korupsi di tanah air, nampaknya tidak pandang bulu dalam menjebloskan siapa saja yang melakukan tindak korupsi. Namun dalam beberapa kasus masih banyak kejahatan korupsi yang tidak diungkap secara cepat dan tepat, salah satu penyebabnya adalah adanya dukungan dan pengaruh dari bidang politik.
Korupsi merupakan bentuk khusus dari pengaruh politik, yang bisa membahayakan demokrasi, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Secara umum, korupsi mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian prosedur, penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikan jabatan bukan karena prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.

Dalam sistem politik yang tidak demokratis, korupsi politik menjadi tabiat hampir semua politisi. Hal ini dilakukan dalam hubungan yang saling menguntungkan. Politisi secara alamiah akan berusaha untuk mempertahanakan dan memperbesar kekuasaan dan otoritasnya. Politisi dan kelompok-kelompok bisnis sering bekerjasama secara erat untuk memperkuat posisi politiknya. Kekuasaan dan otoritas politik kemudian memberikan peluang dan meningkatkan posisi bisnis, sementara keuntungan yang diperoleh dari bisnis tersebut dipergunakan untuk memperluas pengaruh dalam politik. Dengan melakukan korupsi politik, para penguasa tetap dapat mempertahankan kekuasaan yang dimiliki, sehingga sulit dilawan, yang tentunya akan berdampak disegala bidang. Salah satu kasus korupsi yang saat ini adalah kasus korupsi yang dilakukan oleh Mohamad Nasarudin.
Muhammad Nazaruddin yang merupakan mantan bendahara partai pemenang Pemilu Legislatif 2009. Kasus suap yang terjadi di Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora) awalnya tercium dari hasil penyadapan yang dilakukan oleh tim penyelidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Penyadapan dilakukan antara Direktur Utama PT Duta Graha Indah, Dudung  dengan Manajer Marketing PT Duta Graha Indah M El Idris melalui percakapan telpon.  Muhammad Nazaruddin dianggap sebagai pihak yang membantu mengatur kemenangan PT Duta Graha Indah yang dipimpin oleh Mohammad El Idris dalam proyek pembangunan wisma atlet dan gedung serbaguna Provinsi Sumatra Selatan. Dalam perkara Wisma Atlet SEA Games, KPK sudah menetapkan empat orang tersangka. Selain Nazaruddin, tiga orang tersangka lainnya adalah Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olah Raga Wafid Muharram, Direktur Pemasaran PT Duta Graha Indah Muhammad El Idris dan Manajer Pemasaran PT Anak Negeri Mindo Rosalina Manullang.
Kasus suap ini tidak hanya menyangkut Nasarudin seorang tetapi juga para petinggi Partai demokrat bahkan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Menurut hasil survey yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia di Jakarta pada 26 Juni kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan SBY, menunjukkan bahwa tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintahan SBY merosot di bawah 50 persen. Survei yang di lakukan pada 1 Juni- 7 Juni 2011 dengan 1.200 responden yang dipilih secara acak (random sampling) mewakili 33 provinsi ini, menunjukkan penurunan kepuasan publik terhadap kinerja SBY cukup signifikan, mencapai 9,5 persen. Artinya, bila dibandingkan dengan hasil survei pada januari 2011, maka tingkat kepuasan yang semula 56,7 persen turun menjadi 47,2 persen. Dari hasil survey tersebut timbul kesan lemahnya kinerja partai demokrat dan SBY.
. Selain kasus suap wisma atlit ternyata Nazaruddin  juga banyak tersandung kasus suap lainya, antara lain :
1.    Kasus dugaan korupsi di Kementerian Pendidikan Nasional. Kasus ini terjadi di Ditjen Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan  (PMPTK) terkait pengadaan barang di Kementerian Pendidikan Nasional pada 2007. Adapun nilai proyek pengadaan ini Rp142 miliar. Kasus ini masih dalam tahap penyelidikan sejak Maret 2011.
2.    Kasus Proyek pembangunan pusat latihan atlet di Hambalang, Citeureup, Bogor oleh Kementerian Pemuda dan Olah Raga tahun 2011. Proyek ini menelan biaya Rp1.5 triliun. Dalam Pengakuannya, Nazaruddin menyebut ada dana Rp50 miliar dari proyek ini yang digelontorkan untuk pemenangan Anas Urbaningrum sebagai ketua umum pada kongres Demokrat di Bandung beberapa waktu lalu. KPK masih mengumpulkan bahan dan keterangan terkait kasus ini.
3.    Dugaan korupsi proyek pengadaan vaksin flu burung di Kementerian Kesehatan. Kasus ini menyangkut PT Anugrah Nusantara dalam proyek pengadaan peralatan vaksin flu burung senilai Rp718 miliar di Kementerian Kesehatan Desember pada 2008.
4.    Dugaan korupsi pengadaan alat bantu belajar mengajar dokter dan dokter spesialis di rumah sakit pendidikan dan rumah sakit rujukan oleh PT Mahkota Negara. Proyek ini senilai Rp492miliar .
5.    Kasus pembangunan Rumah Sakit Dharmasraya, Sumatera Utara. Kasus proyek pembangunan rumah sakit ini terjadi pada 2009. Nazaruddin cs diduga menggelembungkan harga tanah untuk proyek itu dari harga sebenarnya Rp360 juta menjadi Rp4,8 miliar. Markup itu diduga diaktori Bupati Dharmasraya, Marlon Martua yang sudah menjadi tersangka kasus ini.
6.    Kasus proyek pembangunan rumah sakit infeksi di Surabaya (RS Penyakit Tropis Infeksi di Unair). Proyek ini senilai Rp400 miliar. Kasus ini terungkap saat persidangan Direktur Utama PT Duta Graha Indah, Muhammad El Idris di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta.
7.    Dan kasus pembangunan Rumah Sakit Adam Malik, Sumatera Utara. Kasus ini juga terungkap dalam persidangan El Idris. Sementara itu,
Kasus Nasarudin tersebut menimbulkan perpecahan internal pada partai demokrat  yaitu kubu Anas Urbaningrum dan kubu Andi mallarangeng dan langkah pemecatan yang dilakukan oleh Dewan Kehormatan Partai Demokrat kepada Nasarudin merupakan maneuver politik baru, Muhtadi dalam keterangannya kepada inilah.com menilai penonaktifan M Nazaruddin merupakan opsi jalan tengah meredam konflik internal dalam tubuh partai demokrat antara kelompok pembela Nazaruddin yang diasosiasikan dengan patronase Anas Urbaningrum, Ketua Umum Partai Demokrat. Sedangkan kubu Andi Malarangeng, pesaing Anas dalam kongres Bandung, direpresentasikan sebagai kelompok yang terus menyerang Nazaruddin.
Perilaku politik yang ditonjolkan Demokrat saat ini, memunculkan persepsi yang cenderung palsu (seolah-olah mewakili kenyataan). Realitas yang dibangun Demokrat membuat kita sulit membedakan antara imajinasi dan fakta sebenarnya. Lempar tanggung jawab yang dilakukan oleh partai demokrat dan KPK yang kian memanjang menimbulkan pencitraan tersendiri terhadap kedua lembaga tersebut. Politik Citra merupakan penggambaran tentang suatu tokoh dalam situasi dan kondisi apa saja baik politik, sosial, budaya dll dimana ia berperan aktiv dalam kegiatan politik dan dia membentuk image diri menjadi sesuatu yang ia inginkan (herumichan.blogspot.com, 2011). Kecenderungan politik citra mengarah pada apa yang disebut Jean Baudrillard dalam tulisannya The Precession of Simulacra, sebagai simulasi realitas. Pada dasarnya simulasi realitas ini merupakan sebuah tindakan yang memiliki tujuan membentuk persepsi yang cenderung palsu (seolah-olah mewakili kenyataan). Ruang pemaknaan di mana tanda-tanda saling terkait dianggap tidak harus memiliki tautan logis.
Dari latar belakang diatas maka kelompok kami mengangkat politik pencitraan yang ditimbulkan kasus suap Muhammad Nazaruddin dan keputusan penonaktifan oleh partai demokrat.
B.     RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah yang kami angkat adalah bagaimanakah politik citra yang ditimbulkan dari  kasus suap Muhammad Nazaruddin dan keputusan penonaktifan oleh partai demokrat?

C.     PEMBAHASAN
Kasus Nazarudin terjadi karena dua faktor yakni faktor karakteristik kader partai dan faktor relasi partai dengan sumber kapital struktural (kementrian). Karakteristik kader partai sangat dipengaruhi oleh pola rekrutmen partai untuk mendapatkan kader. Dalam kasus Nazarudin Partai Demokrat merekrutnya karena faktor kedekatannya dengan Anas Urbaningrum (rekrutmen non ideologis). Nazarudin cukup dekat dengan Anas karena jasa besarnya sebagai tim sukses Anas dalam pemilihan Ketua Umum Partai Demokrat yang kemudian menghantarkan Anas terpilih. Pola rekrutmen seperti ini sarat dengan bias obyektifitas, efeknya adalah hampir sulit membuka ruang kritis dan ruang rasionalitas relasi antara Anas dengan Nazarudin. Implikasinya adalah Anas sangat ewuh pakewuh (tidak enak atau segan) bersikap dalam kasus Nazarudin. Hal ini terlihat pada sikap Anas pada awal munculnya kasus ini yang cenderung melindungi Nazarudin. Pada sisi lain relasi partai dengan sumber kapital struktural (kementrian) pada model pemerintahan koalisi pragmatis saat ini sangat memungkinkan partai melakukan berbagai cara untuk memanfaatkan dana Kementrian. Inilah yang terjadi dalam kasus Partai Demokrat dengan Kementrian Pemuda dan Olahraga. Relasi politik yang demikian membuka ruang kemungkinan tumbuh suburnya korupsi di Kementrian yang berasal dari partai politik. Suatu kolaborasi politilk yang koruptif. Relasi yang bias obyektifitas juga menjadikan Anas tidak mampu mengatasi masalah Nazarudin. Terjadi semacam erosi idealism pada diri Anas. Efeknya adalah kebingungan antara menyelamatkan partai,menyelamatkan Nazarudin atau menyelamatkan kedua-duanya.
SBY sangat sering mempraktikan politik pencitraan ketimbang idealism politik dan kritisisme politik. Citra Partai Demokrat yang sedang memburuk menjadi pukulan telak bagi SBY sehingga SBY membuat konferensi Pers khusus untuk menyelesaikan masalah internal partai tersebut dengan harapan citra politiknya kembali membaik. Pola politik pencitraan yang dilakukan adalah pola kepemimpinan patron-klin yaitu sebuah pola kepemimpinan dimana seorang individu dengan status sosio-ekonom-politikinya yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan sumber dayanya untuk menyediakan perlindungan, serta keuntungan-keuntungan bagi seseorang dengan status yang dianggapnyanya lebih rendah (klien).  Kata-kata pembelaan terhadap Nazaruddin adalah upaya menjadi nama baik partai. Meluasnya pemberitaan media mengenai Nazaruddin membahayakan citra partai yang selalu mengutamakan citra daripada substansi.
Politik Pencitraan merupakan strategi politik yang sekarang ini lebih sering digunakan oleh para elit politik demi mencapai kekuasaan yang diinginkan. Hal demikian yang membuat politik citra cenderung mengarah pada hiperealitas. Hiperealitas paling tidak memiliki dua sifat dominan, yaitu : Pertama, sebagai reality by proxy yang lahir dari ketidakmampuan kesadaran dalam membedakan antara realitas dan fantasi. Kedua, solisi imajiner yaitu proses menjadikan sesuatu yang non-empiris, serta mengobjekan kesan lewat kecanggihan teknologi simulasi, sehingga menjadi fakta yang dapat dilihat dan dirasakan pemilih. Berbagai teknik komunikasi politik seperti iklan, publisitas di media massa, loby, negosiasi dan lain-lain telah menyebabkan rakyat sulit membedakan antara yang nyata dan yang imajiner, atau antara yang benar dan yang palsu.
Ada empat tahapan dalam pencitraan menurut Baudrillard (Heryanto, 201:52) pertama pencitraan adalah refleksi dari realitas dasar. Kedua, menutupi dan menyesatkan realitas dasar. Ketiga, menutupi ketidakhadiran realitas dasar. Keempat, tidak mengacu atau memiliki relasi dengan realitas manapun. Pada tahap inilah muncul simulasi yang sempurna. Dalam keempat tahapan ini partai demokrat telah melakukannya demi pencitraan yang baik. Partai Demokrat tercatat telah berusaha keras memberikan wacana-wacana baru untuk mengalihkan perhatian publik dari kasus Nazaruddin. 



1.      Tahap Pertama
Pencitraan adalah refleksi dari realitas dasar. Dalam hal ini partai demokrat melalui Wasekjen Ramadhan Pohan melemparkan isu ‘Mr A’ sebagai tokoh di balik sms gelap yang berasal dari nomor Singapura yang juga mengatasnamakan Nazaruddin.
2.      Tahap Kedua
Menutupi dan menyesatkan realitas dasar. Dalam hal ini partai demokrat mencoba strategi politik pencitraan dengan berpura-pura menjemput Nazaruddin di Singapura.
3.      Tahap Ketiga
Menutupi ketidakhadiran realitas dasar. Dalam hal ini partai demokrat menggunakan strategi senyap dan tidak lagi mau mengurusi persoalan Nazaruddin setelah ia mendapat panggilan dari KPK dan ternyata tidak hadir. Keempat,
4.      Tahap Keempat
Tidak mengacu atau memiliki relasi dengan realitas manapun. Dalam hal ini  Partai Demokrat mendukung kasus Andi Nurpati sebagai upaya untuk menjauh dari kasus Nazaruddin.
Pemecatan Nazaruddin adalah strategi pencitraan untuk menutupi lubang ‘malu’. Malu karena sudah terlalu banyak kata-kata yang dilontarkan ke publik mengenai ketidakterlibatan Nazaruddin dalam korupsi Sesemenpora dan kemungkinan menjadi calo atau broker anggaran.

D.     KESIMPULAN
Pelajaran berharga dari kasus memburuknya citra Partai Demokrat seiring mencuatnya kasus Nazarudin adalah perlunya evaluasi mendasar pada tubuh partai ini. Evaluasi mendasar perlu dilakukan pada pola rekrutmen kader partai, pola kepemimpinan partai, dan pentingnya kosistensi Partai Demokrat pada janji-janji politiknya. Dalam kasus Nazarudin terkesan inkonsistensi Partai ini terhadap janji anti korupsinya.
Jika masalah penanganan korupsi seperti kasus Nazaruddin tidak ditun­taskan, publik akan men-justice SBY sebagai pecundang, apalagi dia tetap bersikukuh memper­tahankan politik pencitraan semata, tanpa dibarengi dengan penuntasan pelbagai kasus itu. Yakin Partai Demokrat bisa mengalami kejatuhannya di 2014 jika Presidennya kini tak berbuat banyak atas tuntutan publik yang semakin gencar dan cerdas.

E.      DAFTAR PUSTAKA

Gun Gun Heryanto, Handout Perkuliahan Komunikasi Politik, (Jakarta: Gun Lasswell, 2010)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar