A.
LATAR BELAKANG
Korupsi
merupakan problematika yang ada pada setiap Negara, seperti diungkap oleh Stiglitz (2006: 55) bahwa tidak ada
negara yang kebal terhadap korupsi. Secara umum, korupsi biasanya
digambarkan sebagai perilaku yang melibatkan penyalahgunaan jabatan publik,
atau sumber-sumber kekuasaan untuk kepentingan pribadi (Huther & Syah 2000:
1).
Dimasa
reformasi yang sudah berjalan lebih dari satu dasawarsa, pengungkapan
kasus-kasus korupsi yang terjadi ditanah air terlihat mengalami kemajuan yang sangat
pesat. Banyak para mantan pejabat yang harus mendekam dipenjara, baik setelah
masa jabatannya, atau malah pada saat masih menjabat sekalipun. Pemberantasan
korupsi di tanah air, nampaknya tidak pandang bulu dalam menjebloskan siapa
saja yang melakukan tindak korupsi. Namun dalam beberapa kasus masih banyak
kejahatan korupsi yang tidak diungkap secara cepat dan tepat, salah satu
penyebabnya adalah adanya dukungan dan pengaruh dari bidang politik.
Korupsi
merupakan bentuk khusus dari pengaruh politik, yang bisa membahayakan
demokrasi, korupsi mempersulit demokrasi dan tata pemerintahan yang baik (good
governance) dengan cara menghancurkan proses formal. Secara umum, korupsi
mengkikis kemampuan institusi dari pemerintah, karena pengabaian prosedur,
penyedotan sumber daya, dan pejabat diangkat atau dinaikan jabatan bukan karena
prestasi. Pada saat yang bersamaan, korupsi mempersulit legitimasi pemerintahan
dan nilai demokrasi seperti kepercayaan dan toleransi.
Dalam
sistem politik yang tidak demokratis, korupsi politik menjadi tabiat hampir
semua politisi. Hal ini dilakukan dalam hubungan yang saling menguntungkan.
Politisi secara alamiah akan berusaha untuk mempertahanakan dan memperbesar
kekuasaan dan otoritasnya. Politisi dan kelompok-kelompok bisnis sering
bekerjasama secara erat untuk memperkuat posisi politiknya. Kekuasaan dan
otoritas politik kemudian memberikan peluang dan meningkatkan posisi bisnis,
sementara keuntungan yang diperoleh dari bisnis tersebut dipergunakan untuk
memperluas pengaruh dalam politik. Dengan melakukan korupsi politik, para
penguasa tetap dapat mempertahankan kekuasaan yang dimiliki, sehingga sulit
dilawan, yang tentunya akan berdampak disegala bidang. Salah satu kasus korupsi
yang saat ini adalah kasus korupsi yang dilakukan oleh Mohamad Nasarudin.
Muhammad
Nazaruddin yang merupakan mantan bendahara partai pemenang Pemilu Legislatif
2009. Kasus suap yang terjadi di Kementerian Pemuda dan Olahraga (Kemenpora)
awalnya tercium dari hasil penyadapan yang dilakukan oleh tim penyelidik Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Penyadapan dilakukan antara Direktur Utama PT Duta
Graha Indah, Dudung dengan Manajer
Marketing PT Duta Graha Indah M El Idris melalui percakapan telpon. Muhammad
Nazaruddin dianggap sebagai pihak yang membantu mengatur kemenangan PT Duta
Graha Indah yang dipimpin oleh Mohammad El Idris dalam proyek pembangunan wisma
atlet dan gedung serbaguna Provinsi Sumatra Selatan. Dalam perkara Wisma Atlet
SEA Games, KPK sudah
menetapkan empat orang tersangka. Selain Nazaruddin, tiga orang tersangka
lainnya adalah Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olah Raga Wafid Muharram,
Direktur Pemasaran PT Duta Graha Indah Muhammad El Idris dan Manajer Pemasaran
PT Anak Negeri Mindo Rosalina Manullang.
Kasus
suap ini tidak hanya menyangkut Nasarudin seorang tetapi juga para petinggi
Partai demokrat bahkan presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Menurut hasil
survey yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia di Jakarta pada 26 Juni kepuasan
publik terhadap kinerja pemerintahan SBY, menunjukkan bahwa tingkat kepuasan
publik terhadap kinerja pemerintahan SBY merosot di bawah 50 persen. Survei yang
di lakukan pada 1 Juni- 7 Juni 2011 dengan 1.200 responden yang dipilih secara
acak (random sampling) mewakili 33 provinsi ini, menunjukkan penurunan
kepuasan publik terhadap kinerja SBY cukup signifikan, mencapai 9,5 persen.
Artinya, bila dibandingkan dengan hasil survei pada januari 2011, maka tingkat
kepuasan yang semula 56,7 persen turun menjadi 47,2 persen. Dari hasil survey
tersebut timbul kesan lemahnya kinerja partai demokrat dan SBY.
. Selain
kasus suap wisma atlit ternyata Nazaruddin juga banyak tersandung kasus suap lainya,
antara lain :
1. Kasus
dugaan korupsi di Kementerian Pendidikan Nasional. Kasus ini terjadi di Ditjen
Peningkatan Mutu Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (PMPTK) terkait
pengadaan barang di Kementerian Pendidikan Nasional pada 2007. Adapun nilai
proyek pengadaan ini Rp142 miliar. Kasus ini masih dalam tahap penyelidikan
sejak Maret 2011.
2. Kasus
Proyek pembangunan pusat latihan atlet di Hambalang, Citeureup, Bogor oleh Kementerian
Pemuda dan Olah Raga tahun 2011. Proyek ini menelan biaya Rp1.5 triliun. Dalam
Pengakuannya, Nazaruddin menyebut ada dana Rp50 miliar dari proyek ini yang
digelontorkan untuk pemenangan Anas Urbaningrum sebagai ketua umum pada kongres
Demokrat di Bandung
beberapa waktu lalu. KPK masih mengumpulkan bahan dan keterangan terkait kasus
ini.
3. Dugaan
korupsi proyek pengadaan vaksin flu burung di Kementerian Kesehatan. Kasus ini
menyangkut PT Anugrah Nusantara dalam proyek pengadaan peralatan vaksin flu
burung senilai Rp718 miliar di Kementerian Kesehatan Desember pada 2008.
4. Dugaan
korupsi pengadaan alat bantu belajar mengajar dokter dan dokter spesialis di
rumah sakit pendidikan dan rumah sakit rujukan oleh PT Mahkota Negara. Proyek
ini senilai Rp492miliar .
5. Kasus
pembangunan Rumah Sakit Dharmasraya, Sumatera Utara. Kasus proyek pembangunan
rumah sakit ini terjadi pada 2009. Nazaruddin cs diduga menggelembungkan harga
tanah untuk proyek itu dari harga sebenarnya Rp360 juta menjadi Rp4,8 miliar.
Markup itu diduga diaktori Bupati Dharmasraya, Marlon Martua yang sudah menjadi
tersangka kasus ini.
6. Kasus
proyek pembangunan rumah sakit infeksi di Surabaya
(RS Penyakit Tropis Infeksi di Unair). Proyek ini senilai Rp400 miliar. Kasus
ini terungkap saat persidangan Direktur Utama PT Duta Graha Indah, Muhammad El
Idris di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta.
7. Dan
kasus pembangunan Rumah Sakit Adam Malik, Sumatera Utara. Kasus ini juga
terungkap dalam persidangan El Idris. Sementara itu,
Kasus
Nasarudin tersebut menimbulkan perpecahan internal pada partai demokrat yaitu kubu Anas Urbaningrum dan kubu Andi
mallarangeng dan langkah pemecatan yang dilakukan oleh Dewan Kehormatan Partai
Demokrat kepada Nasarudin merupakan maneuver politik baru, Muhtadi dalam
keterangannya kepada inilah.com menilai penonaktifan M Nazaruddin
merupakan opsi jalan tengah meredam konflik internal dalam tubuh partai
demokrat antara kelompok pembela Nazaruddin yang diasosiasikan dengan patronase
Anas Urbaningrum, Ketua Umum Partai Demokrat. Sedangkan kubu Andi Malarangeng,
pesaing Anas dalam kongres Bandung,
direpresentasikan sebagai kelompok yang terus menyerang Nazaruddin.
Perilaku
politik yang ditonjolkan Demokrat saat ini, memunculkan persepsi yang cenderung
palsu (seolah-olah mewakili kenyataan). Realitas yang dibangun
Demokrat membuat kita sulit membedakan antara imajinasi dan fakta sebenarnya.
Lempar tanggung jawab yang dilakukan oleh partai demokrat dan KPK yang kian
memanjang menimbulkan pencitraan tersendiri terhadap kedua lembaga tersebut. Politik
Citra merupakan penggambaran tentang suatu tokoh
dalam situasi dan kondisi apa saja baik politik, sosial, budaya dll dimana ia
berperan aktiv dalam kegiatan politik dan dia membentuk image diri menjadi
sesuatu yang ia inginkan (herumichan.blogspot.com, 2011). Kecenderungan politik citra mengarah pada apa yang
disebut Jean Baudrillard dalam tulisannya The
Precession of Simulacra, sebagai simulasi realitas. Pada dasarnya simulasi
realitas ini merupakan sebuah tindakan yang memiliki tujuan membentuk persepsi
yang cenderung palsu (seolah-olah mewakili kenyataan). Ruang pemaknaan di mana
tanda-tanda saling terkait dianggap tidak harus memiliki tautan logis.
Dari
latar belakang diatas maka kelompok kami mengangkat politik pencitraan yang
ditimbulkan kasus suap Muhammad Nazaruddin dan keputusan penonaktifan oleh
partai demokrat.
B. RUMUSAN
MASALAH
Rumusan
masalah yang kami angkat adalah bagaimanakah politik citra yang ditimbulkan
dari kasus suap Muhammad Nazaruddin dan
keputusan penonaktifan oleh partai demokrat?
C. PEMBAHASAN
Kasus Nazarudin terjadi karena dua faktor yakni faktor karakteristik
kader partai dan faktor relasi partai dengan sumber kapital struktural
(kementrian). Karakteristik kader partai sangat dipengaruhi oleh pola rekrutmen
partai untuk mendapatkan kader. Dalam kasus Nazarudin Partai Demokrat
merekrutnya karena faktor kedekatannya dengan Anas Urbaningrum (rekrutmen non
ideologis). Nazarudin cukup dekat dengan Anas karena jasa besarnya sebagai tim
sukses Anas dalam pemilihan Ketua Umum Partai Demokrat yang kemudian
menghantarkan Anas terpilih. Pola rekrutmen seperti ini sarat dengan bias
obyektifitas, efeknya adalah hampir sulit membuka ruang kritis dan ruang
rasionalitas relasi antara Anas dengan Nazarudin. Implikasinya adalah Anas
sangat ewuh pakewuh (tidak enak atau segan) bersikap dalam kasus Nazarudin. Hal
ini terlihat pada sikap Anas pada awal munculnya kasus ini yang cenderung
melindungi Nazarudin. Pada sisi lain relasi partai dengan sumber kapital
struktural (kementrian) pada model pemerintahan koalisi pragmatis saat ini
sangat memungkinkan partai melakukan berbagai cara untuk memanfaatkan dana
Kementrian. Inilah yang terjadi dalam kasus Partai Demokrat dengan Kementrian
Pemuda dan Olahraga. Relasi politik yang demikian membuka ruang kemungkinan
tumbuh suburnya korupsi di Kementrian yang berasal dari partai politik. Suatu
kolaborasi politilk yang koruptif. Relasi yang bias obyektifitas juga
menjadikan Anas tidak mampu mengatasi masalah Nazarudin. Terjadi semacam erosi
idealism pada diri Anas. Efeknya adalah kebingungan antara menyelamatkan
partai,menyelamatkan Nazarudin atau menyelamatkan kedua-duanya.
SBY sangat sering
mempraktikan politik pencitraan ketimbang idealism politik dan kritisisme
politik. Citra Partai Demokrat yang sedang memburuk menjadi pukulan telak bagi
SBY sehingga SBY membuat konferensi Pers khusus untuk menyelesaikan masalah
internal partai tersebut dengan harapan citra politiknya kembali membaik. Pola
politik pencitraan yang dilakukan adalah pola kepemimpinan patron-klin yaitu
sebuah pola kepemimpinan dimana seorang individu dengan status
sosio-ekonom-politikinya yang lebih tinggi (patron) menggunakan pengaruh dan
sumber dayanya untuk menyediakan perlindungan, serta keuntungan-keuntungan bagi
seseorang dengan status yang dianggapnyanya lebih rendah (klien). Kata-kata pembelaan terhadap Nazaruddin adalah
upaya menjadi nama baik partai. Meluasnya pemberitaan media mengenai Nazaruddin
membahayakan citra partai yang selalu mengutamakan citra daripada substansi.
Politik Pencitraan
merupakan strategi politik yang sekarang ini lebih sering digunakan oleh para
elit politik demi mencapai kekuasaan yang diinginkan. Hal demikian yang membuat
politik citra cenderung mengarah pada hiperealitas. Hiperealitas paling tidak memiliki dua sifat
dominan, yaitu : Pertama, sebagai reality
by proxy yang lahir dari ketidakmampuan kesadaran dalam membedakan antara
realitas dan fantasi. Kedua, solisi imajiner yaitu proses menjadikan
sesuatu yang non-empiris, serta mengobjekan kesan lewat kecanggihan teknologi
simulasi, sehingga menjadi fakta yang dapat dilihat dan dirasakan pemilih.
Berbagai teknik komunikasi politik seperti iklan, publisitas di media massa, loby, negosiasi
dan lain-lain telah menyebabkan rakyat sulit membedakan antara yang nyata dan
yang imajiner, atau antara yang benar dan yang palsu.
Ada empat tahapan dalam pencitraan menurut Baudrillard (Heryanto, 201:52) pertama pencitraan adalah refleksi dari realitas dasar.
Kedua, menutupi dan menyesatkan realitas dasar. Ketiga, menutupi ketidakhadiran
realitas dasar. Keempat, tidak mengacu atau memiliki relasi dengan realitas
manapun. Pada tahap inilah muncul simulasi yang sempurna. Dalam keempat tahapan
ini partai demokrat telah melakukannya demi pencitraan yang baik. Partai
Demokrat tercatat telah berusaha keras memberikan wacana-wacana baru untuk
mengalihkan perhatian publik dari kasus Nazaruddin.
1. Tahap
Pertama
Pencitraan adalah refleksi dari realitas dasar. Dalam
hal ini partai demokrat melalui Wasekjen Ramadhan Pohan melemparkan isu ‘Mr A’
sebagai tokoh di balik sms gelap yang berasal dari nomor Singapura yang juga
mengatasnamakan Nazaruddin.
2. Tahap
Kedua
Menutupi dan menyesatkan realitas dasar. Dalam hal ini
partai demokrat mencoba strategi politik pencitraan dengan
berpura-pura menjemput Nazaruddin di Singapura.
3. Tahap
Ketiga
Menutupi ketidakhadiran realitas dasar. Dalam
hal ini partai demokrat menggunakan strategi senyap dan tidak lagi mau
mengurusi persoalan Nazaruddin setelah ia mendapat panggilan dari KPK dan
ternyata tidak hadir. Keempat,
4. Tahap
Keempat
Tidak mengacu atau memiliki relasi dengan realitas
manapun. Dalam hal ini Partai
Demokrat mendukung kasus Andi Nurpati sebagai upaya untuk menjauh dari kasus
Nazaruddin.
Pemecatan Nazaruddin
adalah strategi pencitraan untuk menutupi lubang ‘malu’. Malu karena sudah
terlalu banyak kata-kata yang dilontarkan ke publik mengenai ketidakterlibatan
Nazaruddin dalam korupsi Sesemenpora dan kemungkinan menjadi calo atau broker anggaran.
D. KESIMPULAN
Pelajaran berharga dari kasus memburuknya
citra Partai Demokrat seiring mencuatnya kasus Nazarudin adalah perlunya
evaluasi mendasar pada tubuh partai ini. Evaluasi mendasar perlu dilakukan pada
pola rekrutmen kader partai, pola kepemimpinan partai, dan pentingnya
kosistensi Partai Demokrat pada janji-janji politiknya. Dalam kasus Nazarudin
terkesan inkonsistensi Partai ini terhadap janji anti korupsinya.
Jika masalah penanganan korupsi seperti
kasus Nazaruddin tidak dituntaskan, publik akan men-justice SBY sebagai
pecundang, apalagi dia tetap bersikukuh mempertahankan politik pencitraan
semata, tanpa dibarengi dengan penuntasan pelbagai kasus itu. Yakin Partai
Demokrat bisa mengalami kejatuhannya di 2014 jika Presidennya kini tak berbuat
banyak atas tuntutan publik yang semakin gencar dan cerdas.
E. DAFTAR
PUSTAKA
Gun Gun
Heryanto, Handout Perkuliahan Komunikasi
Politik, (Jakarta:
Gun Lasswell, 2010)